Header Ads

ARS

Agen +62 Satir Intelijen di Era Krisis Moral Digital

  

Reinterpretasi Genre Aksi-Komedi yang Sarat Makna

Agen +62 menandai kembalinya Rieke Diah Pitaloka ke layar lebar setelah lebih dari satu dekade absen. Namun film ini bukan sekadar ajang comeback, melainkan ekspresi sinematik yang menyatukan satir, kritik sosial, dan narasi intelijen dengan gaya jenaka namun penuh bobot.

Cerita berpusat pada dua agen dari institusi fiktif PUANAS (Pusat Usaha Nasional), lembaga intelijen level terbawah yang nyaris tidak dianggap. Ironisnya, merekalah yang diberi tugas paling berbahaya: membongkar jejaring judi online yang terafiliasi dengan kekuasaan dan kekuatan ekonomi gelap.

 

Lapisan Cerita: Komedi, Kritik, dan Kontra-Narasi Negara

Melalui tokoh Martha (Rieke), yang memerankan delapan identitas samaran berbeda, film ini menyampaikan kritik tajam terhadap:

Birokrasi yang disfungsional, di mana intelektualitas dan integritas sering dikalahkan oleh kepentingan politis.

Krisis identitas bangsa, yang tercermin dalam penyamaran yang absurd namun simbolik: dari tukang bakso, kurir paket, pemijat hingga ibu RT.

Fenomena judi online, pinjol ilegal, dan kebocoran data sebagai wajah baru kolonialisme digital.

Relasi kuasa dan subordinasi gender, di mana tokoh perempuan justru tampil sebagai penentu narasi dan penyelamat situasi.

 


Rieke Diah Pitaloka: Performa Multi-Lapis yang Tak Sekadar Nostalgia

Transformasi Rieke dari ikon sitkom “Oneng” ke agen intelijen dalam 8 wajah adalah pertaruhan artistik yang sukses. Bukan hanya soal akting, tapi tentang bagaimana ia meredefinisi perempuan pekerja, aktivis, dan intelektual dalam tubuh seorang komedian.

Perannya bukan hanya mengundang tawa, tetapi menyimpan kegelisahan—tentang sistem yang rusak, publik yang terkooptasi, dan harapan yang masih bisa diperjuangkan dari pinggiran.

 

Estetika Visual dan Narasi Sinematik

Film ini mengusung pendekatan visual quirky dan pop-modern: warna-warna mencolok, ritme cepat, montase absurd. Semua berpadu untuk menegaskan absurditas situasi sosial-politik yang diangkat.

Dialog-dialognya padat referensi sosial—dari jargon teknologi, lelucon pinjol, hingga plesetan UU. Gaya ini mirip dengan tradisi komedi intelektual ala Warkop awal 80-an, namun disesuaikan dengan konteks digital dan media sosial masa kini.

Kesimpulan 

Agen +62 adalah film penting untuk era sekarang: menghibur tanpa membodohi, menyentil tanpa menggurui. Ini bukan hanya karya sinema, tapi bentuk resistensi budaya dalam bentuk komedi. Film ini menegaskan bahwa di tengah dominasi konten digital kosong, sinema Indonesia masih bisa bicara lantang—melalui tawa, menyampaikan kegelisahan yang nyata.

(AN)

No comments